Definisi
Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh
para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna bersama
ini adalah sekumpulan karakteristik utama yang dijunjung tinggi dan
dihargai oleh organisasi.
Ada tujuh karakteristik utama secara keseluruhan, merupakan
hakikat dari budaya organisasi:
1.
Inovasi dan pengambilam resiko.
Sejauh
mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko.
2.
Perhatian terhadap detail.
Sejauh
mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis dan
perhatian terhadap detail.
3.
Orientasi hasil.
Sejuah
mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil bukannya pada teknik dan proses
yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
4.
Orientasi orang.
Sejauh
mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di
dalam organisasi itu.
5.
Orientasi tim.
Sejauh
mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasr tim, bukannya berdasar individu.
6.
Keagresifan.
Sejauh
mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai.
7.
Kemantapan.
Sejauh
mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo bukannya
pertumbuhan.
Setiap karakteristik tersebut berada
pada kontinum dari rendah ke tinggi. Dengan menilai organisasi itu berdasarkan
tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran gabungan atas budaya
organisasi itu. Gambaran itu menjadi dasar bagi perasaan pemahaman bersama yang
dimiliki para anggota mengenai organisasi itu, cara penyelesaian urusan di
dalamnya dan cara para anggota diharapkan berperilaku.
Contoh “Membandingkan Budaya Organisasi”
Organisasi A
Perusahaan brikut ini adalah perusahaan manufaktur. Manajer
diharapkan mendokumentasikan semua keputusan, “manajer yang baik” adalahyang
mampu menyediakan datasecara detail sehingga mampu mendukung rekomendasinya.
Keputusan kreatif yang mendatangkan perubahan signifikan atau risiko tidak akan
didukung. Karena manajer atas proyek
yang gagal akan dikritik dan dihukum secara terbuka, manajer menciba untuk
tidak menerapkan ide yang menyimpangdari status qounya.
Satu tingkat manajer bawah sering menggunakan kutipan frasa
dalam perusahaan “Jika tidak rusak, jangan diperbaiki”.
Ada banyak kaidah dan peraturan yang ekstensif di dalam perusahaan
ini yang harus ditaati oleh karyawan. Manajer mengawasi secara ketat untuk
memastikan tidak adanya penyimpangan. Manajemen terlalu memperhatikan
produktivitas tinggi, tanpa memperhatikan dampaknya moral pada keluar-masuk
karyawan.
Aktivitas pekerjaan didesain, berdasarindividu. Ada
kejelasan departemen dan garis wewenang dan karyawan diharapkan untuk
meminimisasi kontakformal dengan karyawan dari luar lingkup fungsional atau
garis komando mereka. Evaluasi dan inbalan atas kinerja menekankan pada upaya
individu, meskipun serioritas cenderung menjadi faktor utama dalam penentuan
kenaikan gaji dan promosi.
Organisasi B
Organisasi ini juga merupakan perusahaan manufaktur. Akan
tetapi di sini, manajemen mendorong dan memberi imbalan pengambilan risiko dan
kegiatan perubahan. Keputusan berdasar intuisi itu di nilai sebaik keputusan
rasional. Manajemen bangga atas sejarah penerapan teknologi barudan kesuksesan
dalam melangsungkan pengenalan inovasi produk. Manajemen dan karyawan yang
memiliki ide baik didorong ‘melaksanakannya’. Dan kegagalan dianggap
‘pengalaman belajar’. Perusahaan bangga menjadi pengerak pasar dan mampu dengan
cepat tanggap atas kebutuhan perubahan yang diperlukan oleh pelanggannya.
Ada beberapa kaidah dan peraturan untuk diikuti karyawan,
dan pengawasannya longgar karena manajemen percaya bahwa pada karyawannya suka
bekerja keras dan dapat dipercaya. Manajemen memperhatikan produktivitas yang
tinggi, tetapi yakin bahwa itu akan munculjika karyawan diperlakukan dengan
baik. Perusahaan bangga dengan reputasinya menjadi tempat yang baik untuk
bekerja.
Aktivitas pekerjaan didesain berdasar tim kerja dan anggota
tim didorong berinteraksi dengan orang lintas fungsi dan lintas tingkat
wewenang. Karyawan secara positif membicarakan masalah persaingan antartim..
individu dan tim mempunyai sasaran, bonus didasarkan pada pencapaian hasil.
Karyawan diberikan sungguh-sungguh kebebasan memilih saran pencapaian sasaran.
Budaya merupakan istilah deskriptif
Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami
karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan
menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap
deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif
Penelitian mengenai budaya organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan
memandang organisasi mereka:
Sebaliknya,
kepuasan kerja berusaha mengukur respons afektif terhadap lingkungan kerja, seperti
bagaimana karyawan merasakan ekspektasi organisasi,
praktik-praktik imbalan, dan sebagainya.
Apakah organisasi mempunyai budaya yang seragam ?
Budaya
organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama
dari para anggota organisasi atau dengan kata lain, budaya adalah sebuah sistem
makna bersama. Karena itu, harapan yang dibangun dari sini adalah bahwa individu-individu
yang memiliki latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak
sama dalam organisasi akan memahami budaya organisasi dengan pengertian yang
serupa.
Sebagian
besar organisasi memiliki budaya dominan dan
banyak subbudaya. Sebuah budaya dominan
mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas anggota
organisasi. Ketika berbicara tentang budaya sebuah organisasi, hal tersebut merujuk pada
budaya dominannya, jadi inilah pandangan makro terhadap budaya yang memberikan kepribadian tersendiri
dalam organisasi. Subbudaya cenderung
berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi,
atau pengalaman yang sama yang dihadapi para anggota. Subbudaya mencakup
nilai-nilai inti dari budaya dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik.
Nilai inti adalah nilai pokok atau dominan yang diterima oleh seluruh orang
dalam organisasi. Nilai inti pada hakikatnya dipertahankan tetapi di
modifikasikasi agar mampu mencerminkan situasi unit terpisah yang jelas
terbedakan.
Jika
organisasi tidak memiliki budaya dominan dan hanya tersusun atas banyak
subbudaya, nilai budaya organisasi sebagai sebuah variabel independen akan
berkurang secara signifikan karena tidak akan ada keseragaman penafsiran
mengenai apa yang merupakan perilaku semestinya
dan perilaku yang tidak semestinya. Aspek makna bersama dari budaya inilah yang
menjadikannya sebagai alat potensial untuk menuntun dan membentuk perilaku. Itulah
yang memungkinkan seseorang untuk mengatakan, misalnya, bahwa budaya Microsoft menghargai
keagresifan dan pengambilan risiko dan selanjutnya menggunakan informasi
tersebut untuk lebih memahami perilaku dari para eksekutif dan karyawan
Microsoft. Tetapi, kenyataan yang tidak dapat diabaikan adalah banyak
organisasi juga memiliki berbagai subbudaya yang bisa memengaruhi perilaku
anggotanya.
Budaya Kuat
lawan Budaya Lemah
Dalam budaya
kuat, makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan makin besar
komitmen mereka pada nilai-nilai itu, maka makin kuat budaya tersebut. Budaya
kuat akan mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku anggota-anggotanya karena
tingginya tingkat kebersamaan dan intensitas akan menciptakan iklim internal
atas pengendalian perilaku yang tinggi. Dan secara langsung budaya kuat akan
mengurangi kecenderungan tingkat keluar masuknya karyawan. Sedangkan dalam
budaya lemah, karena kurangnya tingkat kebersamaan dan kecilnya tingkat komitmen
maka cenderung mengalami keluar masuknya karyawan.
Budaya
versus Formalisasi
Budaya yang
kuat dapat bertindak sebagai pengganti atas formalisasi. Formalisasi tinggi
dalam organisasi menciptakan prediktabilitas, ketertiban, dan konsistensi.
Budaya yang kuat mencapai tujuan akhir yang sama tersebut tanpa perlu
dokumentasi tertulis. Maka dari itu, kita harus memandang formalisasi dan
budaya sebagai dua jalan yang berlainan ke tujuan yang sama. Makin kuat budaya
organisasi, semakin kurang manajemen perlu itu memperhatikan penyusunan aturan
dan pengaturan formal untuk memandu perilaku karyawan jika mereka menerima
budaya organisasi itu.
Budaya
Organisasi lawan Budaya Nasional
Budaya
nasional harus diperhitungkan jika mau membuat ramalan yang tepat mengenai perilaku
organisasi dalam negara-negara yang berlainan. Budaya nasional mempunyai dampak
yang lebih besar pada para karyawan daripada budaya organisasi mereka. Contoh :
karyawan Jerman pada fasilitas IBM di Munich akan lebih dipengaruhi oleh budaya
Jerman daripada budaya IBM. Ini berarti bahwa budaya organisasi dalam membentuk
perilaku karyawan itu besar, namun budaya nasional bahkan lebih besar lagi pengaruhnya.
Maka dari itu harus dikualifikasi sehingga mampu mencerminkan seleksi diri yang
berlangsung pada tahap penerimaan kerja. Contohnya : perusahaan Multinasional
Inggris mungkin kurang tertarik memperkerjakan ‘orang khas Italia’ untuk
operasinya di Italia daripada memperkerjakan seorang Italia yang cocok dengan
cara perusahaan itu melakukan segala sesuatu. Oleh karena itu, diharapkan
proses seleksi karyawan akan digunakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional
untuk menemukan dan memperkerjakan pelamar kerja yang benar-benar cocok dengan
budaya dominan organisasi.
Fungsi
Budaya
Budaya memiliki sejumlah fungsi dalam
organisasi :
1.
Batas. Budaya
berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, budaya menciptakan perbedaan
atau yang membuat unik suatu
organisasi dan membedakannya dengan organisasi lainnya.
Contoh : Budaya di
UKP dengan UC berbeda,di UKP ada budaya setiap hari senin jam 12 siang ada jam
kebaktian Universitas.
2. Identitas. Budaya memuat rasa identitas suatu
organisasi.
Contoh : Perusahaan gula mengadakan selamatan setiap
hasil panen,yang tujuannya sebagai identitas jika itu perusahaan gula.
3.
Komitmen. Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar
daripada kepentingan individu.
Contoh : Budaya bersih di Indonesia,menyebabkan
perusahaan di bidang makanan berkomitmen untuk menjaga kualitas produknya.
4.
Stabilitas
(kemantapan). Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial karena
budaya adalah perekat sosial yang membantu menyatukan organisasi dengan cara
menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan
karyawan.
Contoh : senyum sapa salam di Indomaret
Budaya merupakan perekat
sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan
standar-standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh
para karyawan. Budaya berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme
pengendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
Budaya mendefinisikan aturan
permainan : “Memang secara alami budaya itu sukar dipahami, tidak berwujud,
implisit, dan diterima apa adanya. Tetapi semua organisasi mengembangkan
seperangkat inti asumsi, pemahaman, dan aturan implisit yang mengatur perilaku
sehari-hari dalam tempat kerja. Sebelum pendatang baru mempelajari
aturan-aturan itu, mereka tidakditerima baik sebagai anggota penuh organisasi
itu. Pelanggaran aturan di pihak eksekutif tingkat tinggi atau karyawan garis
depan mengakibatkan ketidak-setujuan secara umum dan hukuman yang berat.
Keseuaian dengan aturan menjadi dasar utama pemberian imbalan dan mobilitas ke
atas”.
Peran budaya dalam
mempengaruhi perilaku karyawan tampaknya makin penting di tempat kerja dengan
telah dilebarkannya rentag kendali, didatarkannya struktur, diperkenalkannya
tim-tim, dikuranginya formalisasi dan diberdayakannya karyawan oleh organisasi,
makna bersama yang diberikan oleh budaya yang kuat memastikan bahwa semua orang
diarahkan ke arah yang sama. Contoh : para karyawan di Disneyland dan Disney
World tampaknya hampir secara universal menarik, bersih dan tampak bugar,
dengan senyum cemerlang. Itulah citra yang diupayakan oleh Disney. Perusahaan
itu memilih karyawan yang akan memberikan citra itu. Dan begitu bekerja, budaya
kuat, yang didukung oleh aturan dan pengaturan yang formal, memastikan bahwa
karyawan Disney akan bertindak dalam cara yang relatif seragam dan dapat
diramalkan.
Budaya sebagai Beban
Tidak boleh mengabaikan aspek budaya yang
berpotensi disfungsional, teristimewa budaya yang kuat, yang justru mengganggu
fungsi keefektifan organisasi.
·
Hambatan
terhadap Perubahan
Budaya
menjadi beban, bilamana nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan
nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini paling mungkin terjadi bila
lingkungan sebuah organisasi bersifat dinamis. Konsistensi perilaku merupakan
aset bagi organisasi bila organisasi itu menghadapi lingkungan yang stabil
tetapi konsistensi dapat membebani organisasi tiu dan membuatnya kesulitan
menanggapi perubahan-perubahan lingkungannya. Contoh : para eksekutif pada
perusahaan seperti Mitsubishi, Eastman Kodak, Xerox, Boeing dan U.S Federal
Bureau of Investigation dalam tahun-tahun terakhir ini dalam menyesuaikan diri
dengan pergolakan lingkungan mereka. Perusahaan-perusahaan ini mempunyai budaya
yang kuat yang berhasil dengan baik untuk mereka di masa lalu. Tetapi budaya
kuat menjadi penghalang terhadap perubahan ketika “bisnis speperti lazimnya”
tidak lagi efektif.
·
Hambatan
terhadap Keanekaragaman
Merekrut karyawan baru yang,
karena faktor ras, usia, jenis kelamin, ketidakmampuan, atau
perbedaan-perbedaan lain, tidak sama dengan mayoritas anggota organisasi lain
akan menciptakan sebuah paradoks. Manajemen menginginkan karyawan baru menerima
nilai budaya inti organisasi. Budaya yang kuat sangat menekan para karyawan
agar menyesuaikan diri. Budaya yang kuat juga membatasi rentang nilai dan gaya
yang dapat di terima. Contoh, sperti
kasus Texaco yang luas terpublikasi (yang diselesaikan atas nama 1.400 karyawan
untuk mendapatkan US$ 176 juta) dimana para manajer senior mengeluarkan
ungkapan-ungkapan yang meremehkan tentang minritas, budaya kuat yang
mengijinkan prasangka justru merongrong kebijakan formal keanekaragaman
perusahaan.
Organisasi-organisasi mencari dan memperkerjakan
individu yang beranekaragaman karena kekuatan alternatif yang dibawa mereka ke
tempat kerja. Namun perilaku dan kekuatan yang beranekaragam itu cenderung
mengurangi budaya kuat ketika orang berikhtiar untuk menyesuaikan diri dengan
organisasiitu. Oleh karena itu, budaya kuat dapat menjadi beban bila budaya itu
secara efektif menyingkirkan kekuatan unik yang oleh orang-orang dengan latar
belakang yang berlainan tersebut ke dalam organisasi itu. Budaya kuat juga
menjadi kelemahan bila ternyata menjadi tidak peka terhadap orang-orang yang
berbeda.
·
Hambatan
terhadap Merger dan Akuisisi
Secara historis, faktor kunci
yang diperhatikan manajemen ketika membuat keputusan akuisisi atau merger
terkait dengan isu keuntungan finansial atau sinergi produk. Belakangan
ini, kesesuaian budaya juga menjadi fokus utama.
Sejumlah akuisis yang dilaksanakan pada tahun
990-an sudah gagal. Dan alasan utamanya adalah konflik antara budaya
organisasi. Contoh, akuisis AT&T pada tahun 99 atas NCR merupakan
malapetaka. Karyawan AT&T yang tergabung dalam serikat buruh menolak
bekerja dalam gedung yang sama dengan staf NCR yang tidak tergabung dalam
serikat buruh.
Asal Mula Budaya
Kebiasaan, tradisi, dan cara
umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di sebuah organisasi saat ini
merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan sebelumnya dan seberapa
besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini mengarah pada
sumber tertinggi budaya sebuah
organisasi: para pendirinya.
Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki
pengaruh besar terhadap budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi
tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya.
Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri
memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi.
Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara. Pertama, pendiri hanya merekrut
dan mempertahankan karyawan yang
sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan
menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir,
perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan
untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi
mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu utama
keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para
pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.
Menjaga Budaya agar Tetap Hidup
Setelah suatu budaya terbentuk, praktik-praktik
di dalam organisasi bertindak mempertahankannya dengan memberikan kepada para
karyawannya seperangkat pengalaman yang serupa. Proses seleksi, kriteria
evaluasi kinerja, praktik pemberian imbalan, kegiatan pelatihan dan
pengembangan karir dan prosedur promosi memastikan bahwa mereka yang
diperkerjakan cocokdengan budaya itu, menghargai mereka yang mendukungnya dan
menghukum(dan bahkan memecat) mereka yang menentangnya.
3
kekuatan yang menjadi bagian penting dalam mempertahankan budaya :
1. Seleksi.
Tujuan dari proses seleksi adalah mengidentifikasi dan memperkerjakan
individu-individu yang mempunyai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan
melakukan pekerjaan dengan sukses di dalam organisasi itu. Upaya untuk
memastikan suatu kecocokan yang tepat ini, sengaja atau tidak, akan
menghasilkan pekerja yang pada hakikatnya mempunyai nilai yang konsisten dengan
nilai-nilai organisasi itu, atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari
nilai-nilai itu. Selain itu, proses seleksi juga memberikan informasi kepada
para pelamar mengenai organisasi itu. Para calon belajar mengenai organisasi
itu, jika merasakan konflik antara nilai pelamar dan nilai organisasi, mpara
pelamar dapat menyeleksi diri kemudian keluar dari kumpulan pelamar. Oleh
karena itu seleksi menjadi jalan dua-arah, memungkinkan pemberi kerja atau
pelamar memutuskan perkawinan jika tampaknya ada ketidakcocokan. Dengan cara
ini, proses seleksi mendukung budaya organisasi dengan menyeleksi keluar
individu-individu yang mungkin menyerang atau menghancurkan nilai-nilai
intinya.
2. Manajemen Puncak
Tindakan manajemen puncak juga mempunyai dampak besar pada budaya
organisasi. Lewat apa yang mereka katakan dan bagaimana mereka berperilaku,
eksekutif senior menegakkan norma-norma yang mengalir ke bawah sepanjang
organisasi, misalnya, apakah pengambilan risiko diinginkan; berapa banyak
kebebasan seharusnya diberikan oleh para manajer kepada bawahan mereka; pakaian
apakah yang pantas; dan tindakan apakah yang akan dihargai dalam kenaikan upah,
promosi dan imbalan lain.
Sosialisasi
Tidak peduli betapa baik yang telah dilakukan organisasi itu dalam
perekrutan dan seleksi, karyawan baru tidak sepenuhnya terindoktrinasi oleh
budaya organisasi itu. Mungkin yang paling penting, karena mereka tidak kenal
baik dengan budaya organisasi, karyawan baru justru mengganggu keyakinan dan
kebiasaan yang ada. Oleh karena itu, Sosialisasi adalah proses penyesuaian
dimana organisasi akan membantu karyawan baru menyesuaikan diri dengan budayanya.
Tahap Sosialisasi
Sosialisasi dapat di konsepkan sebagai proses
yang terdiri atas tiga tahap :
1. Tahap Prakedatangan
Pada tahap ini merupakan proses pembelajaran pada
proses sosialisasi yang dilakukan sebelum anggota baru bergabung dengan
organisasi itu. Secara eksplisit mengakui bahwa tiap individu tiba dengan
seperangkat nilai, sikap, dan harapan. Nilai, sikap dan harapan ini mencakup
kerja yang harus di lakukan maupun organisasi itu sendiri. Misalnya, dalam
banyak pekerjaan, terutama kerja profesional, anggota baru akan menjalankan
tingkat sosialisasi awal luar biasa melalui pelatihan di tempat kerja dan
pengajaran di sekolah. Maksud utama sekolah bisnis adalah mensosialisasikan
mahasiswa bisnis ke sikap dan perilaku yang diinginkan oleh perusahaaan bisnis.
2. Tahap Keterlibatan
Dimana tahap dalam proses sosialisasi di mana
karyawan baru melihat apa yang sesungguhnya organisasi itu dan persimpangn yang
mungkin dan kenyataan yang ada. Maksudnya adalah jika harapan dan kenyataan
berbeda, karyawan baru itu harus menjalani sosialisasi yang akan melepaskannya
dari asumsi dia sebelumnya dan menggantikan asumsi itu dengan seperangkat
asumsi lain yang dianggap lebih disukai oleh perusahaan itu. Anggota baru akan
benar-benar kecewa jika aktualisasi pekerjaanya tidak sesuain dengan harapan
pelamar dan kemudian mengundurkan diri. Oleh sebab itu proses seleksi yang baik
seharusnya mapu mengurangi probabilitas terjadinya hal ini.
3. Tahap Metamorfosis
Adalah tahap dalam proses sosialisasi dimana
karyawan baruberubah dan menyesuaikan diri dengan pekerjaan, kelompok kerja dan
organisasi. Misalnya, semakin manajemen mengandalkan program sosialisasi yang
formal, kolektif, tetap, berurutan dan menekankan keterbukaan, makin besar
kemungkinan bahwa perbedaan dan perspektif pendatang baru itu akan ditanggalkan
dan digantikan oleh perilaku yang terbakukan dan dapat diramalkan. Metamorfosis
yang berhasil seharusnya mempunyai dampak positif pada produktivitas karyawan
baru itu dankomitmen pada organisasi, serta mampu mengurangi kecenderungannya
untuk keluar dari organisasi itu.
Beberapa pilihan
Sosialisasi saat masuk kerja
a.
Formal
vs Informal
Semakin
kuat seorang karyawan baru dikucilkan dari aturan pekerjaan yang sudah ada, dan
dibedakan sedemikian rupa untuk menunjukkan peran mereka sebagai pendatang
baru, maka semakin formal sosialisasi yang akan berlangsung. Contohnya, selama
program orientasi dan pelatihan tertentu. Sosialisasi formal menempatkan
karyawan-karyawan baru untuk langsung terlibat didalam pekerjaan mereka, dengan
sedikit atau tanpa adanya perhatian khusus.
b.
Individu
vs Kolektif
Anggota-anggota
baru bisa disosialisasikan secara individu. Kebanyakan kantor-kantor
profesional mensosialisasikan karyawan baru mereka dengan cara seperti ini.
Anggota-anggota baru juga dapat dikelompokkan bersama dan diproses melalui
serangkaian pengalaman yang serupa, sebagaimana yang berlangsung di pusat
pelatihan militer.
c.
Jadwal
yang Sudah Ditentukan (Tetap) vs Jadwal Variabel
Jadwal
kapan pendatang baru melakukan transisi dari orang luar menjadi orang dalam
dapat berupa jadwal yang sudah ditentukan atau berupa jadwal yang variabel.
Suatu jadwal yang sudah ditentukan menstandarkan tahap-tahap transisi, seperti
prosedur enam tahun “diangkat atau keluar”, yang biasanya diterapkan terhadap
asistenasisten dosen baru di perguruan tinggi. Jadwal variabel tidak memiliki
pemberitahuan awal masa transisi mereka. Sebagai contoh, jadwal variabel ini
menerapkan sistem promosi khusus, dimana seseorang tidak dilanjutkan ke tahap
berikutnya sampai dia “siap”.
d.
Berurutan
vs. Random
Sosialisasi
tersusun ditandai oleh pemakaian modelmodel peran yang melatih dan mendorong
pendatang baru. Misalnya, program magang dan program penasihat pendamping.
Dalam sosialisasi acak, model-model peran sengaja dihilangkan. Karyawan baru
dibiarkan sendiri dengan penyelesaian yang harus mereka lakukan sendiri.
e.
Pelantikan
vs. Pelepasan
Sosialisasikan
dengan adanya pengakuan bahwa mutu dan kualifikasi pendatang baru merupakan
bagian penting dari keberhasilan pekerjaan, sehingga mutu dan kualifikasi
tersebut ditetapkan dan didukung. Sosialisasi tanpa adanya pengakuan mencoba
menghilangkan karakter-karakter tertentu karyawan baru. “Ikrar” kekeluargaan
dan persaudaraan digunakan dalam sosialisasi ini, untuk membentuk mereka agar
sesuai dengan peran yang diinginkan.
Bagaimana Budaya Terbentuk
Budaya awal berasal dari filosofi pendiri organisasi. Hal
ini selanjutnya sangat mempengaruhi kriteria yang digunakan dalam proses
penerimaan karyawan baru. Tindakan-tindakan manajemen puncak membentuk iklim
umum mengenai perilaku-perilaku yang dapat diterima dan yang tidak dapat
diterima. Bagaimana cara karyawan-karyawan baru bersosialisasi akan bergantung
kepada tingkat keberhasilan yang diraih dalam menyesuaikan nilai-nilai yang
dianut karyawankaryawan baru tersebut dengan nilai-nilai yang ada didalam
organisasi saat dilakukan proses seleksi dan dengan keinginan manajemen
berkaitan dengan metode sosialisasi.
Bagaimana Karyawan Mempelajari Budaya
- Cerita
Cerita-cerita mengenai bagaimana kerasnya perjuangan pendiri organisasi di dalam memulai
usaha sehingga kemudian menjadi maju seperti sekarang merupakan hal yang baik
untuk disebarluaskan. Bagaimana sejarah pasang-surut organisasi dan bagaimana perusahaan mengatasi kemelut dalam
situasi tak menentu merupakan kisah yang dapat mendorong dan memotivasi
karyawan untuk bekerja keras jika mereka mau memahaminya.
Contoh : Seorang manajer HRD menceritakan kisah hidup
dari seorang CEO yang dulu hidupnya susah dan sekarang bisa sukses hingga
membangun perusahaan besar,dari sana karyawan bisa termotivasi untuk semangat
kerja agar nasib hidupnya bisa untung seprti CEO itu.
2. Ritual / Upacara-upacara
Ritual adalah deretan kegiatan berulang yang
mengungkapkan dan memperkuat nilai-nilai utama organisasi, sasaran apakah yang
paling penting, orang-orang manakah yangpenting, dan mana yang dapat
dikorbankan. Semua masyarakat memiliki corak ritual sendiri-sendiri. Di dalam organisasi, tidak jarang ditemui acara-acara ritual yang sudah mengakar dan menjadi
bagian hidup organisasi. Sehingga
tetap dipelihara keberadaannya, contohnya adalah selamatan mulai musim giling
di pabrik gula seperti ini
adalah bagian dari doa dan harapan atas kerjasama dan juga hasil panen yang
baik yang telah berlangsung sejak berdirinya pabrik.
3. Simbol-simbol material
Simbol-simbol atau
lambang-lambang material seperti pakaian seragam, ruang kantor dan lain-lain,
atribut fisik yang dapat diamati merupakan unsur penting budaya organisasi yang
harus diperhatikan sebab dengan simbol-simbol itulah dapat dengan cepat
diidentifikasi bagaimana nilai, keyakinan, norma, dan berbagai hal lain itu
menjadi milik bersama dan dipatuhi anggota organisasi.
Contoh :Logo UKP ada tanda salib di dalamnya,karena
UKP menganut keyakinan Kristen yang menjadi dasar berdirinya UKP.
4.
Bahasa
Bahasa merupakan salah satu media
terpenting di dalam mentransformasikan nilai. Dalam suatu organisasi atau
perusahaan, tiap bidang, divisi, strata atau semacamnya memiliki bahasa atau
jargon yang khas, yang kadang-kadang hanya dipahami oleh kalangan itu sendiri.
Hal ini penting karena untuk dapat diterima di suatu lingkungan dan menjadi
bagian dari lingkungan, salah satu syaratnya adalah memahami bahasa yang
berlaku di lingkungan itu. Dengan demikian menjadi jelas bahwa bahasa merupakan
unsur penting dalam budaya perusahaan.
Contoh : Di sebuah perusahaan penyedia outsource
(seperti satpam) biasanya memiliki jargon kebanggan mereka,biasanya jargon itu
serentak dituturkan bersama-sama setiap pagi saat evaluasi agar para satpam itu
bersemangat dalam menjalani hari kerjanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar